Saturday, December 10, 2011

From the Secrets of Fatiha and What it Contains – Ibn Qayyim aj-Jawzeeya


From the Secrets of Fatiha and What it Contains
By Shaykh ul –Islaam Ibn Qayyim aj-Jawzeeyah as-Salafi  -Rahimullaah-
Translated by Abbas Abu Yahya
 Shamsuddeen Muhammad bin Abee Bakr Ibn Qayyim aj-Jawzeeyah (d.751 A.H.) -Rahimullaah- said:
 Two Strengths
‘The human being has two strengths:
1.       The strength of researched knowledge.
2.       And the strength of practical firm determination of actions.
 A human’s complete happiness is dependent upon the perfection and completion of the two strengths of knowledge and firm determination of actions.
As for the perfection and completion of the strength of knowledge, then this is achieved
1.       by knowing his Creator and his Originator,
2.       knowing His Names and Attributes;
3.       by knowing the path which leads to Him, and
4.       by knowing what causes weakness in following that path, and
5.       by knowing himself and his shortcomings and mistakes.
Having awareness of these five points, leads the human to achieve perfection in the strength of knowledge. The most knowledgeable of the people are those who know and understand these points the most.
 As for the perfection and completion of the strength of practical firm determination of actions, this can only be achieved by complying with the rights of Allaah -Subhanahu- which He has over the slave, and the slave fulfills them with Ikhlaas (sincerity), truthfulness, faithfully, being righteous and by following and testifying to Allaah’s favours upon the slave of Allaah.
The slave has shortcomings in fulfilling Allaah’s rights, and so is ashamed to face Allaah with what (little) he has from servitude to Him. The slave knows that his servitude to Allaah is less than that which Allaah is worthy of, in fact it is even less and lesser than that.  There is no way for him to perfect these two strengths except with Allaah’s help.  Allaah guides him to the straight path to which He guided, His ‘Aawliyaa and those who are close to Him. Allaah averts him from going off the path (Siraat), through either becoming corrupted in his strength of knowledge, and he falls into misguidance, or from his strength of actions, which obligates anger upon him.
 The Principles of Guidance in Sooratul – Fatiha
The complete happiness of a human cannot be achieved except with a combination of these matters, and they are included in Sooratul Fatiha and these matters are arranged in the best way, so the saying of Allaah Ta’ala: <> comprises the first principle, which is knowing about Allaah and His Names, His Attributes and His Actions.
The Names mentioned in this Soorah are the principle names of Allaah’s Beautiful Names, which are; the Name ‘Allaah’, ‘ar-Rabb’ (The Lord) and ‘ar-Rahmaan’ (The Most Merciful).
·         The Name ‘Allaah’ comprises the attributes of al-Ulooheeya (worship).
·         The Name ‘ar-Rabb’ comprises the attributes of Roobubeeyah.
·         The Name ‘ar-Rahman’ comprises the attributes of Beneficence, generosity and Kindness.
The meanings of the Names of Allaah revolve around this.
As for Allaah’s saying:
<> : This is knowing the path leading to Allaah, which is none other than worshipping Him Alone with what Allaah loves and is pleased with, and seeking aid from Him whilst worshipping Him.
As for His saying: <> this comprises the explanation that the slave of Allaah has no way to his own happiness except by Isteeqamah (being upright) on the Siraat al-Mustaqeem (the straight path).  There is no path for him toIsteeqamah except by Allaah’s guidance, just as there is no way for him to Allaah’s worship except by Allaah’s aid, in the same way there is no path for him to Isteeqamah upon the correct way except by Allaah’s guidance.
As for Allaah’s saying: << not (the way) of those who earned Your Anger, nor of those who went astray>> this contains the two extremities of deviancy from the straight path.  Deviating to one of these sides leads to misguidance, which is the corruption of knowledge and belief deviating to the other side, to Allaah’s anger which is due to corruption of the intention and action.
The first part of the Soorah is mercy, the middle is guidance and last part is blessings.
 The Slave of Allaah is between Blessings and Guidance
The portion of blessings a slave of Allaah has is related to the amount of guidance he has.
The proportion of guidance for a slave of Allaah is related to the portion of Mercy. So, the whole matter returns back to Allaah’s Blessings and His Mercy.
Blessing and Mercy are from those things which necessitate Allaah’s Roobubeeyah (Lordship). Indeed Allaah is The Merciful and The Giver of blessings and these are from the obligations of His Ilaheeyaeehi (being the One worthy of worship), so He is the deity in Truth, even if the rejecters deny it, and the Mushrikeen associate partners with Him.
Whoever puts into effect the meanings of Fatiha with knowledge and understanding, practically and immediately; then he will have been successful in his perfecting [knowledge and action] in the best way. Then his worship of Allaah becomes a distinct worship by which his grade is raised above that of the general worshippers.
Wa Allaahul Must’aan.’
 [Taken From his book ‘Al-Fawaid’ p.115-118]

Monday, November 21, 2011

MENYAMBUT TAHUN BARU MASIHI





Sambutan Tahun Baru Masihi Adalah Perayaan Agama Kristian Sebagaimana yang ditetapkan oleh Paderi Katolik, Pius VI (19 March 1777) demikian juga Planery Council of Baltomore di Amerika Syarikat (1884). Maka, berhati-hatilah wahai kaum muslimin sekalian.

Nabi kamu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba: "Sesiapa yang meniru sesuatu kaum maka dia termasuk daripada kalangan kaum itu". [Abu Daud, Sanadnya Jayyid]

Sila rujuk: 10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru
http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2844-10-kerusakan-dalam-perayaan-tahun-baru-.html

MUZIK & NYANYIAN



------------------------

Firman Alloh subhanahu wa Ta’ala:

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan << perkataan yang tidak berguna >> untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Alloh tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Alloh itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” [Luqman: 6]

Dalam tafsir Ibnu Katsir (tafsiran ayat 6 Surah Luqman) turut menjelaskan perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahawa nyanyi-nyanyian adalah termasuk perkataan yang tidak berguna.

‘Abdulloh bin Mas’ud rodhiyalloohu ‘anhu (seorang sahabat Nabi), tatkala beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Alloh yang tiada Ilah yang haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali.

[Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya shohih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishohihkan oleh Al-Albany, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143]

------------------

Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari rodhiyalloohu ‘anhu bahwa Rosululloh shallalloohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan << alat-alat musik >>...”

[H.R. Al-Bukhory, (10/5590)]

Sila rujuk: Kontroversi Seputar Musik dan Nyanyian
http://www.facebook.com/note.php?note_id=224108982196&id=100000004716169&ref=mf
-------------

Dari dua dalil ini , secara garis kasar Muzik dan Nyanyian bukan dari Islam bahkan Islam tdk pernah menganjurkan Muzik dan Nyanyian sebagai sesuatu yg bermanfaat kepada diri dan agama penganutnya.. Bahkan yg jelas, muzik dan nyanyian adalah sinonim dengan amalan org kafir, golongan munafik dan juga org-org yg lalai.

Nabi kamu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba: "Sesiapa yang meniru sesuatu kaum maka dia termasuk daripada kalangan kaum itu". [Abu Daud, Sanadnya Jayyid]
 




MUZIK & NYANYIAN
------------------------

Perintah dari Atas Langit dan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Pembaca sekalian, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6).

Sebagian besar mufassir berkomentar, yang dimaksud dengan 'lahwul hadits' dalam ayat tersebut adalah nyanyian.

Ketika Abdullah Ibnu Mas'ud raddiyallahu ‘anhu ditanya mengenai ayat ini, beliau berkata:

“Demi Allah yang tidak ada sesembahan yagn haq melainkan Dia, yang dimaksud dengan 'lahwal hadits' di sini ialah nyanyian.”, beliau mengulangi perkataannya sampai tiga kali. Para ahli tafsir yang lainnya juga mengatakan demikian, seperti Ibnu Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa'id bin Jubair dan Mujahid

(Lihat Tafsir Ibnu Katsir).


Allah berfirman kepada syaitan:
"Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu." [Surah al-Isra’, 17: 64]

Imam Mujahid berkata (sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya):

قيل هو الغناء قال مجاهد باللهو والغناء أي استخفهم بذلك

Terjemahan: (بصوتك : dengan suaramu) Ia adalah al-Ghina’ (nyanyian), berkata Mujahid: “Dengan main-mainan dan al-Ghina’ (nyanyian), iaitu meremeh-remehkannya dengan perkara tersebut.” (Rujuk: Tafsir Ibnu Katsir, 5/93. Lihat juga Tafsir al-Qurthubi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan:

وقد فسر ذلك طائفة من السلف بصوت الغناء. وهو شامل له ولغيره من الأصوات المستفزة لأصحابها عن سبيل الله

“Dan sebenarnya sebahagian ulama salaf (generasi awal) telah menafsirkan (bi-shautika) dengan: “Nyanyian (al-ghinaa’)”. Ini turut mencakupi seluruh perkara selainnya dari jenis-jenis suara yang menghalang pelakunya kepada jalan Allah.” (Majmu’ al-Fatawa, 11/642)

Menunjukkan bahawa nyanyian (al-Ghina’) adalah di antara kaedah yang digunakan oleh Iblis untuk menyesatkan manusia.


Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
"Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras dan alat-alat MUZIK." (HR. Bukhari dan Abu Daud)



Larangan Membuat/Mengambil/memanjangkan gambar makhluk bernyawa dan perintah menghapus gambar makhluk yang Bernyawa


‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepada Abul Hayyaj Al-Asadi:

“Maukah aku mengutus-mu dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku? (Beliau mengatakan padaku):

أَلاَّ تَدَع تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.”

[HR. Muslim no. 2240, kitab Al-Jana`iz, bab Al-Amr bi Taswiyatil Qabr]


Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:

“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada gambar-gambar di dalam Ka’bah, beliau tidak mau masuk ke dalamnya sampai beliau memerintahkan agar gambar tersebut dihapus. Dan beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimassalam di mana di tangan keduanya ada azlam (batang anak panah yang digunakan oleh orang-orang jahiliyyah untuk mengundi guna menentukan perkara/urusan mereka). Beliau bersabda:

قَاتَلَهُمُ اللهُ! وَاللهِ إِنِ اسْتَقْسَمَا بِاْلأَزْلاَمِ قَطُّ

“Semoga Allah memerangi mereka! Demi Allah, keduanya sama sekali tidak pernah mengundi nasib dengan azlam.”

[HR. Al-Bukhari no. 3352, kitab Ahaditsul Anbiya‘, bab Qaulullahi ta’ala: Wattakhadzallahu Ibrahima Khalila]


Jabir radhiallahu ‘anhu berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصُّوْرَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذلِكَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengambil gambar (makhluk hidup) dan memasukkannya ke dalam rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu.”

[HR. At-Tirmidzi no. 1749, kitab Al-Libas ‘An Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab Ma Ja`a fish Shurah. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Hukmu Tashwir, hal. 17]


‘Aun bin Abi Juhaifah mengabarkan dari ayahnya bahwa ayahnya berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّم وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الأَمَة. وَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ, وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari harga darah, harga anjing, dan dari penghasilan budak perempuan (yang disuruh berzina). Beliau melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta ditato, demikian juga pemakan riba dan orang yang mengurusi riba. Sebagaimana beliau melaknat tukang gambar.”

[HR. Al-Bukhari no. 2238, kitab Al-Buyu’, bab Tsamanul Kalb]

Artikel lengkap sila rujuk:
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/hukum-gambar-makhluk-bernyawa-1/




Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.
“Artinya : Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm : 38-39]

Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas.
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum : Bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya[*]. Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran)”[**].


Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak menjadi kebiasaan salaf, apabila mereka shalat sunnat atau puasa sunnat atau haji sunnat atau mereka membaca Qur’an lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling (menyalahi) perjalanan salaf. Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna”

Rujukan:
[Dari Kitab Al-Ikhtiyaaraat Ilmiyyah]


Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa bacaan Al-Qur’an bukan untuk orang yang telah mati akan tetapi untuk orang yang hidup. Membaca Qur’an untuk orang yang telah mati hatta untuk orang tua dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mereka, adalah perbuatan yang sama sekali tidak berdalil bahkan menyalahi Al-Qur’an sendiri dan Sunnah dan perbuatan para shahabat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir yang mengambil dari Al-Imam Asy-Syafi’iy yang dengan tegas mengatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang yang telah mati. Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak pernah diamalkan oleh kaum salaf. Dari sini kita mengetahui, bahwa membaca Qur’an untuk orang yang telah mati tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada, tentulah para shahabat yang pertama mengamalkannya sebelum orang lain. Kemudian amalan itu akan dinukil oleh tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk Syafi’iy di dalamnya yang beritanya akan mencapai derajat mutawatir atau sekurang-kurangnya masyhur. Kenyataan yang ada sebaliknya, mereka sama sekali tidak pernah mengamalkannya sedikitpun.

Note:
[*]. Peganglah kuat-kuat kaidah yang besar ini! Bahwa setiap amal kalau itu baik dan masuk ke dalam ajaran Islam tentulah diamalakan lebih dahulu oleh para shahabat. Mafhumnya, kalau ada sesuatu amal yang diamalkan oleh sebagian kaum muslimin akan tetapi para shahabat tidak pernah mengamalkannya, maka amal tersebut jelas tidak baik dan bukan dari Islam.
[**]. Di dalam kaidah ushul yang telah disepakati “apabila nash (dalil) telah datang batallah segala ra’yu/pikiran


Artikel lengkap sila rujuk pada link berikut:
http://www.almanhaj.or.id/content/2273/slash/0
 



MENGUPAS HUKUM BERDOA SESUDAH SHALAT

Mungkin sebagian saudara kami masih rancu mengenai perkara do’a dan mengangkat tangan sesudah shalat. Memang ada hadits yang menjelaskan dianjurkannya beberapa do’a pada dubur shalat (akhir shalat) sebagaimana yang disebutkan dalam hadits semacam ini :

أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Aku wasiatkan padamu wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat) : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik. [Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. Abu Daud no. 1522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Namun apakah yang dimaksud dengan dubur shalat (akhir shalat)? Apakah sebelum salam atau sesudah salam?

Untuk memahami hal ini, alangkah baiknya kita memperhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz berikut (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 11/194-196) yang kami sarikan berikut ini. Serta ada sedikit penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dan ulama lainnya yang kami sertakan.

Dubur shalat kadang bermakna sebelum salam dan kadang pula bermakna sesudah salam.

Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan hal ini. Mayoritasnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dubur shalat adalah akhir shalat sebelum salam jika hal ini berkaitan dengan do’a.


Sebagaimana dapat dilihat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkannya tasyahud padanya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنْ الدُّعَاءِ بَعْدُ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ يَدْعُو بِهِ

“Kemudian terserah dia memilih do’a yang dia sukai untuk berdo’a dengannya.” (HR. Abu Daud no. 825).

Dalam lafazh lain,

ثُمَّ لْيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ

“Kemudian terserah dia memilih setelah itu (setelah tasyahud) do’a yang dia kehendaki (dia sukai).” (HR. Muslim no. 402, An Nasa’i no. 1298, Abu Daud no. 968, Ad Darimi no. 1340)

Di antara contoh do’a yang dibaca sebelum salam adalah yang terdapat dalam hadits Mu’adz bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat padanya,

لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat)[1] : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik. [Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. An Nasa’i no. 1286, Abu Daud no. 1301. Sanad hadits ini shohih)

Contoh lain dari do’a yang dibaca sebelum salam adalah do’a yang diajarkan oleh Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung pada-Mu dari hati yang lemah, aku berlindung dari dikembalikan ke umur yang jelek, aku berlindung kepada-Mu dari musibah dunia dan aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur.”[2]

Adapun letak bacaan dzikir adalah setelah shalat, setelah salam berdasarkan hadits-hadits shohih yang ada.


Contoh yang dimaksud adalah ketika selesai salam kita membaca :

أَسْتَغْفِرُ اللهَ (ثلاثا) اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ.

Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah. Allahumma antas salam wa minkas salam tabarokta yaa dzal jalali wal ikrom.

“Aku minta ampun kepada Allah,” (dibaca tiga kali). Lantas membaca: “Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dan dariMu keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Yang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.” [HR. Muslim 1/414.]

Dzikir ini dibaca oleh imam, makmum ataupun orang yang shalat sendirian (munfarid). Kemudian setelah itu imam berbalik ke arah makmum sambil menghadapkan wajahnya ke arah mereka. Setelah itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian membaca dzikir:

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ.

اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.

Laa ilaha illalah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya’in qodir, laa hawla quwwata illa billah. Laa ilaha illallah wa laa na’budu illa iyyah, lahun ni’mah wa lahul fadhlu wa lahuts tsana’ul hasan. Laa ilaha illallah mukhlishina lahud din wa law karihal kaafirun.

“Tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan pujaan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali (dengan pertolongan) Allah. Tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Allah. Kami tidak menyembah kecuali kepadaNya. Bagi-Nya nikmat, anugerah dan pujaan yang baik. Tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Allah, dengan memurnikan ibadah kepadaNya, sekalipun orang-orang kafir sama benci.” [HR. Muslim 1/415.]

Allahumma laa mani’a lima a’thoita wa laa mu’thiya lima mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.

Ya Allah, tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya (selain iman dan amal shalihnya). Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan.” [HR. Al-Bukhari 1/255 dan Muslim 1/414.]


Inilah yang dianjurkan bagi muslim dan muslimah untuk membaca dzikir-dzikir ini setelah shalat lima waktu. Lalu setelah itu dia membaca tasbih (subhanallah), membaca tahmid (alhamdulillah), dan membaca takbir (Allahu Akbar). Lalu dia menggenapkan bacaan dzikir ini menjadi seratus dengan membaca : Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli sya’in qodir.

Semua dzikir ini terdapat dalam hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dianjurkan setelah membaca dzikir-dzikir ini agar membaca ayat kursi sekali secara lirih (sir). Lalu setelah itu membaca qul huwallahu ahad dan al maw’idzatain (Al Falaq dan An Naas) masing-masing sekali setelah selesai shalat; kecuali untuk shalat maghrib dan shubuh, ketiga surat ini dibaca masing-masing sebanyak tiga kali.

Dianjurkan pula bagi setiap muslim dan muslimah setelah selesai shalat maghrib dan shubuh untuk membaca dzikir :

Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumit wa huwa ‘ala kulli sya’in qodir, dibaca sebanyak sepuluh kali sebagai tambahan dari bacaan-bacaan dzikir tadi, sebelum membaca ayat kursi, sebelum membaca tiga surat tadi. Amalan seperti ini terdapat dalam hadits yang shohih. Wallahu waliyyut taufiq.




Kesimpulan :
Yang dimaksud dengan dubur shalat adalah :

[1] Setelah tasyahud, sebelum salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk berdo’a.
[2] Setelah shalat, sesudah salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk berdzikir.



Kalau Ingin Berdo’a, Sebaiknya Dilakukan Sebelum Salam

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah (Liqo’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 82) berkata :

Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa apabila engkau ingin berdo’a kepada Allah, maka berdo’alah kepada-Nya sebelum salam. Hal ini karena dua alasan :

Alasan pertama : Inilah yang diperintahkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan tentang tasyahud, “Jika selesai (dari tasyahud), maka terserah dia untuk berdo’a dengan do’a yang dia suka.”

Alasan kedua : Jika engkau berada dalam shalat, maka berarti engkau sedang bermunajat kepada Rabbmu. Jika engkau telah selesai mengucapkan salam, berakhir pula munajatmu tersebut. Lalu manakah yang lebih afdhol (lebih utama), apakah meminta pada Allah ketika bermunajat kepada-Nya ataukah setelah engkau berpaling (selesai) dari shalat? Jawabannya, tentu yang pertama yaitu ketika engkau sedang bermunajat kepada Rabbmu.

Adapun ucapan dzikir setelah menunaikan shalat (setelah salam) yaitu ucapan astagfirullah sebanyak 3 kali. Ini memang do’a, namun ini adalah do’a yang berkaitan dengan shalat. Ucapan istighfar seseorang sebanyak tiga kali setelah shalat bertujuan untuk menambal kekurangan yang ada dalam shalat. Maka pada hakikatnya, ucapan dzikir ini adalah pengulangan dari shalat.

Hukum Mengangkat Tangan untuk Berdo’a Sesudah Shalat Fardhu

Pembahasan berikut adalah mengenai hukum mengangkat tangan untuk berdo’a sesudah shalat fardhu. Berdasarkan penjelasan yang pernah kami angkat, kita telah mendapat pencerahan bahwa memang mengangkat tangan ketika berdo’a adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. Namun, apakah ini berlaku dalam setiap kondisi? Sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin bahwa hal ini tidak berlaku pada setiap kondisi. Ada beberapa contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengangkat tangan ketika berdo’a. Agar lebih jelas, mari kita perhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz mengenai hukum mengangkat tangan ketika berdo’a sesudah shalat.

Beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan :

Tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan (ketika berdo’a) pada kondisi yang kita tidak temukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan pada saat itu. Contohnya adalah berdo’a ketika selesai shalat lima waktu, ketika duduk di antara dua sujud (membaca do’a robbighfirli, pen) dan ketika berdo’a sebelum salam, juga ketika khutbah jum’at atau shalat ‘ied. Dalam kondisi seperti ini hendaknya kita tidak mengangkat tangan (ketika berdo’a) karena memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan kita dalam hal ini. Namun ketika meminta hujan pada saat khutbah jum’at atau khutbah ‘ied, maka disyariatkan untuk mengangkat tangan sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka ingatlah kaedah yang disampaikan oleh beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) berikut :

“Kondisi yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan, maka tidak boleh bagi kita untuk mengangkat tangan. Karena perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam termasuk sunnah, begitu pula apa yang beliau tinggalkan juga termasuk sunnah.”

Bagaimana Jika Tetap Ingin Berdo’a Sesudah Shalat?

Ini dibolehkan setelah berdzikir, namun tidak dengan mengangkat tangan. Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/178) mengatakan :

“Begitu pula berdo’a sesudah shalat lima waktu setelah selesai berdzikir, maka tidak terlarang untuk berdo’a ketika itu karena terdapat hadits yang menunjukkan hal ini. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak perlu mengangkat tangan ketika itu. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian. Wajib bagi setiap muslim senantiasa untuk berpedoman pada Al Kitab dan As Sunnah dalam setiap keadaan dan berhati-hati dalam menyelisihi keduanya. Wallahu waliyyut taufik.”

Bahkan Berdo’a Sesudah Shalat dan Dzikir adalah Perkara yang Dianjurkan

Dianjurkan seseorang berdo’a sesudah shalat dan setelah dzikir disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Ali Basam dalam Tawdihul Ahkam (1/776-777). Syaikhul Islam –rahimahullah- mengatakan :

“Dianjurkan bagi setiap hamba sesudah shalat dan setelah membaca dzikir semacam istigfar, tahlil, tasbih, tahmid dan takbir, lalu dia bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia boleh berdo’a sesuai yang dia inginkan. Karena berdo’a sesudah melakukan aktivitas ibadah semacam ini adalah waktu yang tepat untuk terkabulnya do’a, apalagi sesudah berdzikir kepada-Nya dan menyanjug-Nya, juga setelah bershalawat kepada Nabi-Nya. Ini adalah sebab yang sangat ampuh untuk tercapainya manfaat dan tertolaknya mudhorot (bahaya). ”

Namun yang perlu diperhatikan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawanya (11/168) bahwa do’a sesudah shalat boleh dilakukan, namun tanpa mengangkat tangan dan tidak bareng-bareng (jama’i). Beliau mengatakan bahwa hal ini tidak mengapa.

Mengangkat Tangan Untuk Berdo’a Sesudah Shalat Sunnah

Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan :

Adapun shalat sunnah, maka aku tidak mengetahui adanya larangan mengangkat tangan ketika berdo’a setelah selesai shalat. Hal ini berdasarkan keumuman dalil. Namun lebih baik berdo’a sesudah selesai shalat sunnah tidak dirutinkan. Alasannya, karena tidak terdapat dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, maka hal tersebut akan dinukil kepada kita karena kita ketahui bahwa para sahabat –radhiyallahu ‘anhum jami’an- rajin untuk menukil setiap perkataan atau perbuatan beliau baik ketika bepergian atau tidak, atau kondisi lainnya.

Adapun hadits yang masyhur (sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di dalam shalat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’. Lalu hendaknya engkau mengangkat kedua tanganmu (sesudah shalat), lalu katakanlah : Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah), sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan ulama lainnya. Wallahu waliyyut taufiq.



Demikian pembahasan kami tentang hukum bedo'a sesudah shalat. Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang masih terdapat perselisihan ulama di dalamnya. Namun demikianlah pendapat yang kami pilih dan lebih menenangkan hati kami. Kami pun masih menghormati pendapat lainnya dalam masalah ini.

Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima.



Diselesaikan di Waktu Dhuha, 28 Dzulqo’dah 1429 H di Pangukan-Sleman

Artikel www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal

Friday, March 25, 2011

Al Hamdulillah (All Praise and Thanks be to Allah)

              http://abdurrahman.org

              The Meaning of Al-Hamd

Abu Ja`far bin Jarir said, "The meaning of (Al-Hamdu Lillah) (all praise and thanks be to Allah) is: all thanks are due purely to Allah, alone, not any of the objects that are being worshipped instead of Him, nor any of His creation. These thanks are due to Allah's innumerable favors and bounties, that only He knows the amount of. Allah's bounties include creating the tools that help the creation worship Him, the physical bodies with which they are able to implement His commands, the sustenance that He provides them in this life, and the comfortable life He has granted them, without anything or anyone compelling Him to do so. Allah also warned His creation and alerted them about the means and methods with which they can earn eternal dwelling in the residence of everlasting happiness. All thanks and praise are due to Allah for these favors from beginning to end.''
Further, Ibn Jarir commented on the Ayah,
(Al-Hamdu Lillah), that it means, "A praise that Allah praised Himself with, indicating to His servants that they too should praise Him, as if Allah had said, `Say: All thanks and praise is due to Allah.' It was said that the statement,
(All praise and thanks be to Allah), entails praising Allah by mentioning His most beautiful Names and most honorable Attributes. When one proclaims, `All thanks are due to Allah,' he will be thanking Him for His favors and bounties.''
The Difference between Praise and Thanks
Hamd is more general, in that it is a statement of praise for one's characteristics, or for what he has done. Thanks are given for what was done, not merely for characteristics.
The Statements of the Salaf about Al-Hamd
Hafs mentioned that `Umar said to `Ali, "We know La ilaha illallah, Subhan Allah and Allahu Akbar. What about Al-Hamdu Lillah'' `Ali said, "A statement that Allah liked for Himself, was pleased with for Himself and He likes that it be repeated.'' Also, Ibn `Abbas said, "Al-Hamdu Lillah is the statement of appreciation. When the servant says Al-Hamdu Lillah, Allah says, `My servant has praised Me.'' Ibn Abi Hatim recorded this Hadith.
The Virtues of Al-Hamd
Imam Ahmad bin Hanbal recorded that Al-Aswad bin Sari` said, "I said, `O Messenger of Allah! Should I recite to you words of praise for My Lord, the Exalted, that I have collected' He said,
(Verily, your Lord likes Al-Hamd.)''
An-Nasa'i also recorded this Hadith. Furthermore, Abu `Isa At-Tirmidhi, An-Nasa'i and Ibn Majah recorded that Musa bin Ibrahim bin Kathir related that Talhah bin Khirash said that Jabir bin `Abdullah said that the Messenger of Allah said,
(The best Dhikr (remembering Allah) is La ilaha illallah and the best supplication is Al-Hamdu Lillah.)
At-Tirmidhi said that this Hadith is Hasan Gharib. Also, Ibn Majah recorded that Anas bin Malik said that the Messenger of Allah said,
(No servant is blessed by Allah and says,`Al-Hamdu Lillah', except that what he was given is better than that which he has himself acquired.) Further, in his Sunan, Ibn Majah recorded that Ibn `Umar said that the Messenger of Allah said,
(A servant of Allah once said, `O Allah! Yours is the Hamd that is suitable for the grace of Your Face and the greatness of Your Supreme Authority.' The two angels were confused as to how to write these words. They ascended to Allah and said, `O our Lord! A servant has just uttered a statement and we are unsure how to record it for him.' Allah said while having more knowledge in what His servant has said, 'What did My servant say' They said, `He said, `O Allah! Yours is the Hamd that is suitable for the grace of Your Face and the greatness of Your Supreme Authority.' Allah said to them, `Write it as My servant has said it, until he meets Me and then I shall reward him for it.)
Al before Hamd encompasses all Types of Thanks and Appreciation for Allah
The letters Alif and Lam before the word Hamd serve to encompass all types of thanks and appreciation for Allah, the Exalted. A Hadith stated,
(O Allah! All of Al-Hamd is due to You, You own all the ownership, all types of good are in Your Hand and all affairs belong to You.)