Tuesday, August 31, 2010

Pemimpin Jatuh Miskin

Oleh Haedar Nashi

Mengapa bangsa ini sulit sekali menjadi akil-balig? Belajar untuk bertanggung jawab layaknya orang dewasa. Para elite politik terus memperagakan perilaku kekanak-kanakan. Gemar meminta banyak hal kepada negara sembari kerja malas-malasan. Petinggi  negara masih juga tampak rileks, bahkan para koruptor pun dapat hadiah grasi. Segala hal di negeri ini seolah berjalan normal.

Kalau anak balita wajar bersikap kekanak-kanakan karena mereka memang homo ludens, makhluk bermain. Tapi, manakala para petinggi nasional masih bermain-main dengan urusan negara dan bangsa, lantas di mana pertanggungjawabannya? Padahal saat ini hidup rakyat kian susah, perahu bangsa dalam pertaruhan, dan negeri ini tengah dilecehkan tetangga.

Sungguh, betapa sulit memahami nalar kekanak-kanakan elite politik yang menuntut adanya rumah aspirasi dengan anggaran keuangan negara. Kalau pakai anggaran sendiri  tentu elegan. Bukankah selama ini mereka dibayar negara, yang salah satu kewajibannya ialah menyerap aspirasi rakyat. Padahal mayoritas rakyat yang diwakili justru tengah berjuang mempertaruhkan hidup yang semakin berat dan dililit banyak kesulitan. Gagal dengan mainan rumah aspirasi, muncul gagasan dana daerah pemilihan. Apalagi yang masih kurang untuk dikuras habis dari perut negeri yang kian compang-camping ini?

Panorama paradoks lain juga terjadi. Di laut bangsa ini dilecehkan bangsa tetangga, tanpa rasa terhina. Padahal inilah negeri maritim dan kepulauan terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan sejarah masa lampau yang gagah perkasa. Sedangkan di daratan ribuan anak bangsa terus mengadu nasib di negeri serumpun sambil terus dilecehkan, diindonkan, disiksa, dan sebagian tengah menunggu nasib untuk dihukum mati. Di tengah derita anak bangsa yang serbapilu seperti itu, para pemimpin bangsa masih juga tebal muka dan saling menyalahkan.
Apa yang hilang di negeri ini? Soal sensitivitas? Hidup saling peduli dan berbagi? Visi kebangsaan? Sikap tegas? Tanggung jawab? Moral kenegarawanan? Jangan-jangan kehilangan semuanya. Segalanya menyatu menjadi penyakit batin dan mental yang kronis. Padahal masalah bangsa kian berat dan krusial. Masa depan penuh pertaruhan. Tantangan dari luar tak kalah ganasnya. Bencana demi bencana terus menimpa seolah tak kenal henti. Ada apa dengan perangai para elite bangsa di negeri ini?

Teladan Al-Faruq

Dalam memimpin negara, belajarlah kepada Ummar Ibn Khattab. Sosok khalifah ternama yang gagah, pemberani, negarawan, sekaligus sangat cinta rakyat. Dia bahkan tidak mau disebut khalifah, lebih senang dipanggil Amir al-Mukminun, yakni orang yang diberi amanat untuk menunaikan urusan rakyat, bukan menjadi penguasa.

Kepemimpinannya dikenal adil dan tegas, hatta untuk sanak keluarganya sendiri. Karena itu, Umar dijuluki al-Faruq, sosok pemimpin adil, sekaligus menjadi figur pembeda. Jika dirinya bersalah, tak segan minta maaf dan dihakimi pengadilan, tak mau ada perlakuan istimewa. Negara tidak pernah jadi urusan anak-bini.

Bagaimana Umar al-Faruq mencintai dan membela rakyatnya? Bukan berbasa-basi, beretorika, dan sekadar berteori. Setiap hari bahkan malam Umar turun langsung ke rakyat bawah. Dia temukan keluarga yang kelaparan, kemudian dia ambilkan gandum untuk diberikan. Dia ajak istri tercintanya, Ummu Kalsum, untuk berpahala membantu ibu yang sedang melahirkan. Dia jumpai ibu yang tak menyusui bayinya yang tengah menangis, lalu dianjurkannya untuk menyusuinya bahkan dibuatkannya edaran ke seluruh pelosok negeri agar ibu-ibu menyusui bayinya hingga usia dua tahun.

Umar begitu kasih sayang, empati, peduli, dan membela rakyat kecil dengan tangannya sendiri. Karena itu, selain sosok Al-Faruq, Umar dikenal pula sebagai "ayah kaum dhuafa", karena demikian cintanya terhadap rakyat yang lemah. Sekaligus tegas kepada siapa pun yang melanggar aturan dan hukum tanpa pandang bulu. Dalam pidatonya ketika diangkat khalifah, Umar sebagaimana ditulis Heikal (2001: 656) berujar lantang: "Di mata saya, tidak ada orang yang lebih kuat daripada orang yang lemah di antara kalian, sebelum saya berikan haknya, dan tak ada yang lebih lemah daripada orang yang kuat sebelum saya cabut haknya."

Jika para elite dan pemimpin negeri belajar pada Umar Al-Faruq, lebih-lebih kepada uswah hasanah Nabi Muhammad, tidak akan ada yang mengabaikan amanat dan menelantarkan rakyat. Apalagi aji mumpung dan haus kuasa, karena kekuasaan dan mandat itu bukan hanya urusannya dengan  rakyat, melainkan juga menyangkut urusan pertanggungjawaban dengan Tuhan. Karena itu, tidak akan berani bermain-main dengan kekuasaan yang ada di tangannya, sekecil apa pun kekuasaan itu, apalagi kekuasaan yang besar.

Umar tidak harus membuat rumah aspirasi hanya untuk menyelami dan memperjuangkan kepentingan rakyat di bawah, apalagi akal-akalan untuk sekadar cari mudah dan cari proyek baru. Dia langsung turun ke tengah-tengah kehidupan nyata rakyat, tanpa banyak retorika dan fasilitas. Tak ada kendala dan kesulitan serius untuk menyerap aspirasi dan nasib rakyat. Segala hal tentang derita, kesulitan, dan jeritan rakyat kecil sudah terlampau telanjang hadir di hadapan kita sehari-hari. Setiap hari dihabiskan untuk berkhidmat, nyaris tanpa istirahat, apalagi menikmati kesenangan. Hidupnya total diabdikan untuk kejayaan bangsa dan negara guna meraih ridha dan karunia Allah, hingga akhir hayatnya mati syahid.

Soal karakter  

Bagaimana dengan para elite dan petinggi negeri ini? Kecukupan lahir dan reputasi diri sungguh luar biasa. Fasilitas negara pun tak kurang, bahkan cukup berlebihan. Mungkin yang kurang ialah soal karakter kepemimpinan. Masalah mental dan martabat diri. Muaranya ialah kemiskinan rohani. Rohani yang menggelorakan jiwa amanah, tanggung jawab, kerja keras, komitmen, dan pengkhidmatan total untuk bangsa dan negara melampaui hak-hak yang diperolehnya.

Mentalitas elite negeri seolah menjadi pemulung berdasi. Kerja tanpa risiko sambil mengais-ngais barang rongsokan. Gaji, fasilitas, dan hak-hak istimewa tidak pernah dirasakan cukup karena yang dikejar adalah keberlebihan. Sebesar apa pun hak-hak yang diberikan negara tidak akan pernah merasa cukup karena yang diinginkan ialah ketidakterbatasan. Hidupnya merasa kurang dan kurang terus di tengah keberlebihan yang tak dimiliki rakyat banyak. Andaikan para pahlawan yang sudah di alam kubur menyaksikan perangai para penerusnya yang seperti itu, mungkin mereka akan menangis di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan 17 Agustus yang bersejarah.
Mental pemulung berdasi berkaitan dengan kualitas martabat diri. Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam salah satu hadisnya, yadu al-'ala khairu min yadu al-sulfa, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Nabi dan para sahabat yang dijamin Allah masuk surga, bahkan bermujahadah untuk mempraktikkan cara hidup yang bermartabat utama itu. Bukan sekadar bicara.

Seluruh hidupnya diabdikan untuk mengemban risalah dan memuliakan umat manusia. Muhammad adalah nabi kaum mustadh'afin. Keperkasaannya mengguncang takhta Kisra, tetapi hidupnya bersahaja dan pembela kaum jelata. Para khalifah penerusnya  pun mengikuti jejaknya. Banyak memberi, tidak pernah meminta. Apalagi meminta kepada negara ketika rakyat hidup miskin, susah, dan diimpit derita.

Sabda Nabi, "Bukanlah kekayaan itu lantaran banyaknya harta, kekayaan itu ialah kekayaan jiwa." Ahli hikmah menyatakan, "orang kaya ialah orang yang sedikit keperluannya." Buya Hamka menulis, jangka turun naik kekayaan dan kemiskinan terletak pada keperluannya. Mereka yang kaya sedikit keperluannya, sedangkan yang miskin banyak keperluannya.

Para raja dan mereka yang berkuasa sesungguhnya miskin, karena demikian banyak keperluannya. Demikian cara berpikir sufistik mengonstruksi siapa yang kaya dan siapa si miskin, yang tentu berbeda dari cara berpikir kaum materialisme. Apalagi cara berpikir mereka yang israf, yang tak pernah kenyang dalam segala keperluan hidup.

Pemulung berdasi lama-kelamaan berubah statusnya menjadi al-sailin, yakni peminta-minta kelas atas yang terkena hukum berhak untuk dizakati  Jika kaum jelata meminta-minta di pinggir jalan dan dari pintu ke pintu, dapat dipahami karena keterbatasannya. Tapi, manakala yang terus meminta-minta kepada negara itu mereka yang berpunya, bahkan segala keperluannya ditanggung negara, sungguh ironis.

Sementara sensitivitas terhadap derita rakyat dan problem bangsa tak juga beranjak naik, seolah negeri ini aman sentosa dalam senandung lagu nan indah melankolis.
Kurang apa lagi? Orang berseloroh menjawab, kurang harga diri. Agama menyebutnya sebagai penyakit israf dan nifaq. Keberlebihan yang tidak pernah merasa puas dan perilaku yang tak sejalan kata. Inilah bentuk kemiskinan rohani para pemimpin dan elite negeri. Semuanya berlomba untuk meraih kuasa, hingga berinflasi jadi politisi sejati: demi takhta apa pun dilakukan. Sedangkan martabat kenegarawanan kian hari semakin tenggelam ditelan bumi.

Raga fisiknya kaya materi dan kuasa, jiwa dan perilakunya papa jelata. Gesture kuasa tampak gagah di muka, tapi lemah nyali dan menjadi elite rongsokan. Para pemimpin dan elite negeri seperti ini tak pernah akil-balig untuk menjelma jadi pemimpin dan elite negarawan yang bertanggung jawab total terhadap nasib bangsa dan negara. Libido kuasanya ialah takhta dan harta; sementara perilaku kepemimpinannya kerdil. Akhirnya, jatuh miskin  (rohani) di tengah gelimang dunia indrawi dan keperkasaan takhta!

Puasa dan Keteladanan Pemimpin

Oleh Prof Nanat Fatah Nasir

Suatu hari, Khalifah Abu Bakar hendak berangkat berdagang. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khathab. "Mau berangkat ke mana engkau, wahai Abu Bakar?" tanya Umar. "Seperti biasa, aku mau berdagang ke pasar," jawab sang khalifah.

Umar kaget mendengar jawaban itu, lalu berkata, "Engkau sekarang sudah menjadi khalifah, karena itu berhentilah berdagang dan konsentrasilah mengurus kekhalifahan." Abu Bakar lalu bertanya, "Jika tak berdagang, bagaimana aku harus menafkahi anak dan istriku?" Lalu Umar mengajak Abu Bakar untuk menemui Abu Ubaidah. Kemudian, ditetapkanlah oleh Abu Ubaidah gaji untuk khalifah Abu Bakar yang diambil dari baitul mal.

Pada suatu hari, istri Abu Bakar meminta uang untuk membeli manisan. "Wahai istriku, aku tak punya uang," kata Abu Bakar. Istrinya lalu mengusulkan untuk menyisihkan uang gaji dari baitul mal untuk membeli manisan. Abu Bakar pun menyetujuinya.

Setelah beberapa lama, uang untuk membeli manisan pun terkumpul. "Wahai Abu Bakar belikan manisan dan ini uangnya," ungkap sang istri memohon. Betapa kagetnya Abu Bakar melihat uang yang disisihkan istrinya untuk membeli manisan. "Wahai istriku, uang ini ternyata cukup banyak. Aku akan serahkan uang ini ke baitul mal, dan mulai besok kita usulkan agar gaji khalifah supaya dikurangi sebesar jumlah uang manisan yang dikumpulkan setiap hari, karena kita telah menerima gaji melebihi kecukupan sehari-hari," tutur Abu Bakar.

Sebelum wafat, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya Aisyah. "Kembalikanlah barang-barang keperluanku yang telah diterima dari baitul mal kepada khalifah penggantiku. Sebenarnya aku tidak mau menerima gaji dari baitul mal, tetapi karena Umar memaksa aku supaya berhenti berdagang dan berkonsentrasi mengurus kekhalifahan," ujarnya berwasiat.

Abu Bakar juga meminta agar kebun yang dimilikinya diserahkan kepada khalifah penggantinya. "Itu sebagai pengganti uang yang telah aku terima dari baitul mal," kata Abu Bakar. Setelah ayahnya wafat, Aisyah menyuruh orang untuk menyampaikan wasiat ayahnya kepada Umar. Umar pun berkata, "Semoga Allah SWT merahmati ayahmu."

Kisah yang tertulis kitab fadhailul 'amal itu sarat akan makna dan pesan. Di bulan Ramadhan ini, kita dapat mengambil pelajaran dari sikap dan keteladanan Abu Bakar yang tidak rakus terhadap harta kekayaan. Meski ia adalah seorang khalifah, namun tetap memilih hidup sederhana demi menjaga amanah.

Inilah sikap keteladanan dari seorang pemimpin sejati yang perlu ditiru oleh para pemimpin bangsa kita. Perilaku pemimpin, memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat. Terlebih, bangsa Indonesia memiliki karakteristik masyarakat yang paternalistik yang rakyatnya berorientasi ke atas. Apa yang dilakukan pemimpin akan ditiru oleh rakyatnya, baik perilaku yang baik maupun yang buruk. Dengan spirit Ramadhan, maka hendaknya para pemimpin memberi teladan untuk hidup secara wajar agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Wallahu 'alam.

Fakta ilmiah kenapa 1 malam Lailatul Qodar lebih mulia dari 1000 bulan

Email dari Mujiarto Karuk sumber dari
http://bengawansolo.net/berita/berita-nasional/232-fakta-ilmiah-kenapa-1-malam-lailatul-qodar-lebih-mulia-dari-1000-bulan.html




Ini ada artikel bagus (sekitar Sep 2008) tentang Lailatul Qadar yang bersumber dari karya Rajendra Kartawiria, Quranic Quotient Centre. Sebagian isi buku ini kemudian dipublikasikan di internet oleh Aulia Muttaqin dan beberapa sumber lainnya.
Manfaatkan malam Ramadhan untuk memperluas ilmu dan membangun keyakinan
Mengapa Ramadhan?
Dalam Islam kita mengenal adanya 4 bulan suci, yaitu Dzulka’idah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Ramadhan yang berarti panas pun tidak termasuk sebagai bulan suci. Mengapa Ramadhan dipilih untuk puasa sebulan penuh?


Dalam ilmu astronomi, Radiasi Matahari memiliki siklus 11 tahunan. Tahun 2007 sendiri merupakan akhir dari siklus ke 23 sejak pengamatan pertama pada abad 18.


Bumi dilindungi Magnestosphere, sehingga dampak badai radiasi bukan terjadi pada sisi bumi yang menghadap matahari (siang hari).
Saat badai radiasi matahari datang, dampaknya terasa pada bagian bumi yang membelakangi matahari (malam hari).
Radiasi di malam hari mempengaruhi tingkat getaran otak.
Radiasi dan gravitasi bulan purnama meningkatkan permukaan air laut dan kehidupan makhluk laut di malam hari. Juga menarik air dalam membran otak dan lebih menggetarkan sel-sel otak. Getaran sel otak menggambarkan tingkat kesadaran dan aktivitas otak.
Umat muslim dianjurkan puasa sunnah 3 hari “shaumul biidh” pada saat terang bulan setiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan-bulan Hijriyah dan menghidupkan malam-malamnya.
Tingkat radiasi bervariasi 0-100,000 dan di skala S1-S5 oleh NOAA.
Berdasarkan pengamatan, radiasi sebesar 1000 MeV particles s-1 ster-1 cm-2 terjadi 10 kali dalam satu siklus 11 tahunan, atau terjadi setiap 13 bulan sekali. Radiasi sebesar 1000 MeV particles s-1 ster-1 cm-2 ini digolongkan dalam skala S3, dan mulai berbahaya bagi manusia sebesar 1 chest x-ray.
Radiasi dengan siklus 11,7 bulan (1 tahun hijriyah) adalah sebesar 800 MeV particles s-1 ster-1 cm-2.
Mengarah pada hipotesa malam Lailatul Qadar Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (QS Al Qadr 97:3)
LQ - 1000 bulan
Building Block …
  • Siklus satu tahunan (hijriyah) bernilai 1000 x bulan purnama
  • Malam yang nilainya 1000 bulan purnama adalah Lailatul Qadr
  • Lailatul Qadr terjadi di bulan Ramadhan
  • Jadi siklus badai matahari yang berulang setiap satu tahunan (hijriyah) terjadi setiap bulan Ramadhan
Itulah sebabnya…
  • Sejarah para nabi menunjukkan bahwa mereka senang merenungkan hakekat kehidupan, bertapa, pada setiap bulan Ramadhan.
  • Secara umum wahyu-wahyu tentang ajaran agama yang membutuhkan tingkat pemahaman yang tinggi, banyak yang diturunkan di malam-malam bulan Ramadhan.
  • Penataan ayat-ayat Al Quran ke dalam surat-surat seperti yang tersaji saat ini, dilakukan Nabi Muhammad pada malam-malam bulan Ramadhan.
  • Umat muslim diajak untuk menghidupkan malam-malam di bulan Ramadhan
  • Lebih utama adalah i’tiqaf di masjid pada 10 malam terakhir, pada malam-malam sebelum dan setelah Lailatul Qadr
Energi ekstra untuk pembelajaran di bulan Ramadhan…
  • Untuk bisa mengaji malam Ramadhan dibutuhkan energi ekstra
  • Kenyataannya puasa siang hari bukanlah menyebabkan tubuh kekurangan / kehabisan energi
  • Justru puasa menghemat energi tubuh 10% karena tidak digunakan untuk mencerna makanan
  • Energi yang dihemat ini sangat membantu pemahaman pelajaran di malam hari
Three in One di bulan Ramadhan…
  1. Efektif memahami Al Quran di malam hari
  2. Detoksifikasi dan Manajemen Energi di siang hari
  3. Kembali fitrah setelah berpuasa 28 hari berturut-turut
Manfaatkan malam-malam Ramadhan…
  • Untuk dapat dengan mudah memahami makna kehidupan secara komprehensif dan benar, manfaatkan keenceran otak di kesunyian malam Lailatul Qadr
  • Untuk mendapat pemahaman lebih luas, malam-malam di sekitar Lailatul Qadr juga oke (10 malam terakhir Ramadhan)
  • Lebih oke lagi kalau dimulai malam pertama Ramadhan, mumpung siangnya berpuasa
  • Hasil renungan malam ini harus dapat kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari
  • Nikmat hidup akan diperoleh jika kita berkontribusi positif kepada kehidupan dunia dengan berserah diri kepadaNya
  • Nikmat kehidupan akhirat akan diperoleh bila kita mampu selalu menikmati dan mensyukuri kehidupan dunia

Sunday, August 29, 2010

Kata-Kata Hikmah Khulafa' Ur Rasyidin




SAIDINA ABU BAKAR RADHIALLAHU ANHU BERKATA: 
Orang yang bakhil itu tidak akan terlepas daripada salah satu daripada 4 sifat yang membinasakan iaitu: 
  1. Ia akan mati dan hartanya akan diambil oleh warisnya, lalu dibelanjakan bukan pada tempatnya atau; 
  2. Hartanya akan diambil secara paksa oleh penguasa yang zalim atau; 
  3. Hartanya menjadi rebutan orang-orang jahat dan akan dipergunakan untuk kejahatan pula atau; 
  4. Adakalanya harta itu akan dicuri dan dipergunakan secara berfoya-foya pada jalan yang tidak berguna 

SAIDINA UMAR AL-KHATTAB RADHIALLAHU ANHU BERKATA: 
Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya 
  1. Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina 
  2. Orang yang menyintai akhirat, dunia pasti menyertainya 
  3. Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga 

SAIDINA UTHMAN BIN AFFAN RADHIALLAHU ANHU BERKATA: 
Antara tanda-tanda orang yang bijaksana itu ialah: 
  1. Hatinya selalu berniat suci 
  2. Lidahnya selalu basah dengan zikrullah 
  3. Kedua matanya menangis kerana penyesalan (terhadap dosa) 
  4. Segala perkara dihadapaiya dengan sabar dan tabah 
  5. Mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. 

SAIDINA ALI KARRAMALLAHU WAJHAH BERKATA:
  1. Tiada solat yang sempurna tanpa jiwa yang khusyu' 
  2. Tiada puasa yang sempurna tanpa mencegah diri daripada perbuatan yang sia- sia 
  3. Tiada kebaikan bagi pembaca al-Qur'an tanpa mengambil pangajaran daripadanya 
  4. Tiada kebaikan bagi orang yang berilmu tanpa memiliki sifat wara' 
  5. Tiada kebaikan mengambil teman tanpa saling sayang-menyayangi 
  6. Nikmat yang paling baik ialah nikmat yang kekal dimiliki 
  7. Doa yang paling sempurna ialah doa yang dilandasi keikhlasan 
  8. Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak pula salahnya, siapa yang banyak salahnya, maka hilanglah harga dirinya, siapa yang hilang harga dirinya, bererti dia tidak wara', sedang orang yang tidak wara' itu bererti hatinya mati

    Sunday, August 22, 2010


    Bismillah


    That which is on earth We have made but as a glittering show for the earth, in order that We may test them--as to which of them are best in conduct." 
    (The Qur'an, Al Kahf, 18: 7) 

    "O mankind! We created you from a single (pair) of a male and a female, and made you into nations and tribes that ye may know each other (not that ye may despise each other). Verily the most honored of you in the sight of Allah is (he who is) the most righteous of you. And Allah has full knowledge and is well acquainted (with all things)." 
    (The Qur'an, Al Hujurat, 49: 13) 

    "Those who believe (in the Qur'an) and those who follow the Jewish (Scriptures) and the Christians and the Sabians and who believe in Allah and the last day and work righteousness shall have their reward with their Lord; on them shall be no fear nor shall they grieve."
    (The Qur'an, Al Baqarah, 2: 62) 

    "[If] anyone slays a human being-unless it be [in punishment] for murder or for spreading corruption on earth-it shall be as though he had slain all mankind; whereas, if anyone saves a life, it shall be as though he had saved the lives of all mankind. [...]
    (The Qur'an, Al-Ma'idah, 5: 32) 

    "Let there be no compulsion in religion: Truth stands out clear from Error: whoever rejects evil and believes in Allah has grasped the most trustworthy hand-hold, that never breaks. And Allah hears and knows all things."The Qur'an, Al-Baqara, 2: 256) 

    Monday, August 2, 2010

    A Letter from a Brother in the U.S.

    Raha Azeezud-Deen Batts (USA) - source: islaam.ca
    It’s been said that instead of saying, “All praise is for Allaah who has guided us to Islaam” we should say, “All praise is for Allaah who has guided us to Islaam and the Sunnah,” because many have entered into Islaam, but have left the Sunnah in terms of ‘aqeedah (creed),’ibaadah (worship), and character.
    My journey to correct Islaam was truly one of trial and error. Having grown up in the streets of Baltimore, Maryland, like many misguided youth, I aspired to be no more than one of three things: an athlete, a rapper or a gangster. Without proper guidance and having such low aspirations for myself, I was drawn into the “street life,” and subsequently spent most of my life in and out of prisons and detention centers. Thus begins what I refer to as the first phase of my journey to Islaam.
    Phase 1: Twisted- At age 18, I was serving a short sentence at a prison is Hagerstown, Maryland. While there, I attended the functions of the Nation of Islaam (N.O.I.) and the Moorish Science Temple of America (M.S.T.O.A.) . One day when I was at a N.O.I. (Nation of Islaam) service, the speaker came out wearing his bowtie, having absolutely no hair on his face other than his eyebrows. Two bodyguards stood on both sides of the podium with rock faces. He began his talk: “Humpty Dumpty sat on a wall! Humpty Dumpty had a great fall! All the king’s horses and all the king’s men, couldn’t put Humpty together again!” He paused, and then he shouted, “Humpty didn’t fall, he was pushed!” He continued, “You see, Humpty Dumpty was an egg; and the egg represents life, and life represents the black man! ‘All the king’s horses and all the king’s men’ represents the white man, the powers that be! And they could’ve put Humpty back together again but they didn’t want the black man to be united because it would’ve meant the end of the white man.
    I came away with my head spinning. This must be the Truth; or so I thought. I had an older friend who was at the prison with me whom I respected. I had known him for years but did not know that he was a Muslim. When I returned from the service, he saw me and asked where I had been. So I told him blow for blow, word for word what I had heard (I have always had a relatively sharp memory). When I finished running it down, my friend could not control his laughter. “Nah, shorty. That ain’t it,” he said, “I’m going to take you to Jumu’ah with me.” I didn’t know what Jumu’ah (Muslims' Friday congregational prayer) was, but I was willing to go because I thought being rounded meant that you attended all services (i.e. Christian, N.O.I., Rastafarian, M.S.T.O.A. etc.) without committing to any group. The ignorant people call this being “universal”, “spiritual” or, “I have my own relationship with God.” But this only serves to mix you up and confuse about your Lord and religion in general.
    Anyhow, I went to Jumu’ah that week and for several weeks thereafter as a guest, and did not hear one thing that confused me nor one contradiction. Unlike, the other services I had attended which were full of contradictions. The Christians claimed to be monotheists, yet I found them worshipping a trinity and saying that Jesus is their Lord and savior. The N.O.I. claimed that the Black Man was God and that the white man was the devil, at the same time believing that Allaah created Himself out of “triple darkness.” The M.S.T.O.A. say that they are descendants of the Moors yet they do not follow the religion of the Moroccans and they deny clear verses from the Quran.
    So initially, I took my shahadah (testimony of faith to enter into Islaam)”, simply because rationally, it made no sense to me to reject something which is apparently true. However, at that time, the knowledge was not as prevalent in the prisons at it is now, and the brothers I was around were not so much concerned with tafsiyyah and tarbiyyah (purification and cultivation) as they with simply having you take shahaadah, and that’s it. It was more of a thing, like, “I got one!” (i.e. I got someone to take shahaadah). So at this stage, my Islaam was much like that of the Bedouin Arabs described in the Quran: "The bedouins say: 'We believe.' Say: 'You believe not but you only say, 'We have surrendered (in Islam),'' for Faith has not yet entered your hearts..." (49:14)
    I did not know the rules and etiquettes of prayer; I recall one morning, I woke up for Fajr (dawn) prayer. I rolled out of bed in my underwear, made wudhoo(purification required for prayer), stood and prayed. Notice that I did not say I put my clothes on. I stood there in prayer wearing nothing but my boxers (Subhaan Allaah). This is elucidating for you my level of ignorance.
    So when the month of Ramadhaan (the month in which Muslims observe fasting) came around, my older friend of whom I have mentioned earlier came to me and said, “As-Salaamu ‘alaykum, Ramadhaan is coming soon. Are you going to fast?” By him asking me whether or not I was going to fast, I assumed as a Muslim, I have a choice as to whether or not I wanted to fast. So I thought, “Leave my food and drink all day for a whole month?” So I replied, “Nah, I’ll sit this one out.” So my friend, who I later realized was as ignorant as I was, said, “I respect that Akhee (my brother).” (Allaah’s Aid is sought) Therefore, I did not fast my first Ramadhaan out of ignorance of the fact that fasting in Ramadhaan is obligatory for the one who is able.
    My release date came and I was sadly ill-prepared for the battle that was to come. So when I got out, it was not too long before I abandoned my prayers (in boxers or otherwise) and was back involved with the drugs, the guns and the zinaa (fornication) . This was 1995; I was 19 yrs. old.
    Phase 2: Sincerity (Ikhlaas)- Traveling down the same destructive path, I travelled to Raleigh, North Carolina in late 1997 and continued a life of crime. Only this time, I was Muslim (depending on who you ask). I attended Jumu’ah, when I wanted to, and prayed when I wanted to. Shaytaan (the devil) had deceived me to the point that, if I planned to commit a crime on a particular day (an armed robbery, drug deal etc.) then I would make a prayer on that day, or if it was Friday, then I would go to a masjid and attend the Jumu’ah prayer. If I was successful in the crime, I would think that Allaah blessed me in my crime for the one prayer I made or the Jumu’ah I had attended.
    Needless to say, I was arrested again in August of 1998 for armed bank robbery. This time it was federal. I was sent to a prison in Indiana.
    In the federal penitentiary, the environment is different from what I had experienced in state prisons at home in Maryland. Inmates from all over the U.S. and different parts of the world are housed by the Feds. People hang together based upon what city or state they are from, their gang affiliations, or their race. And then there are the Muslims - those who come together for faith.
    I was a bit rebellious, so I was torn between my “homies” (i.e. people from one’s hometown) from Baltimore, and my belief (as jaded as it was) in Islaam. Due to my ignorance and anger at myself for being in prison again, I inclined towards my “homies” who were into just about everything from wine to robbing other inmates. So the first year or so of my incarceration was a wild ride.
    As a result of the mixture of different mentalities in prison, there is almost always some level of tension. Fights, stabbings and sometimes murders happen for the most trivial things; like sports, gambling or telephones. I along with some “homies”, were involved in an altercation with inmates from another town. A few days later, I was sent to a maximum security prison in Marion, Illinois.
    While at this prison, I met the man whom I now refer to as my mentor. His name is Mujaahid Abdul-‘Alee Muslim, from St. Louis, MO. He was not like any Muslim I had ever seen. From him, I actually saw the beauty of Islaam in his character; for him Islaam was not just an association or something to do while in prison -as this is how a Muslim should be. This is what I say about him and I glorify no one over Allaah. The Prophet Muhammad, sallallaahu ‘alahi wa sallam (peace and blessings of Allaah be upon him), said, “The best among you is he who when you see him, he reminds you of your duty to Allaah.” I realized what I needed to do.
    So I finally began learning Islaam. With Mujaahid, I learned about the sunnah of Muhammad, sallallaahu ‘alahi wa sallam. I actually learned about the miraculous nature of Allaah’s Book, the Qur’aan. With him, I studied the books: The Sealed Nectar (one of the best biographies of the Prophet Muhammad,), Tasfir Ibn Kathir (one of the best commentaries on the Qur’aan), Kitaab-ut-Tawheed (A book on the monotheistic nature of God), Fiqhus-Sunnah and many other works. I also began my studies in ‘Arabic and learned how to read the Qur’aan with its proper rules of recitation (Tajweed).
    Then, in 2001, my mother became ill and I was just beginning to learn from Islaam the reverence that one should have for his mother. Being her only child, we were always close, but for me, Islaam drew me closer to her. So when she got sick, I became deeply concerned for her soul. So I really began to step up my studies in Islaam so that I could call my mother to this beautiful religion that I had grown to love. It would be a great task since she was a licensed missionary for the “Church of such and such in Christ,” and she was well versed in Christianity. We began to debate over the phone and in letters. I supplied her evidences from the Qur’aan and the Bible about the Truth of Islaam and the falsity of what she was upon. This went on until one day she said, “Baby, I recognize the Truth in everything you’re saying. I don’t know what the future holds for me, but as for right now, this is what I’m going to stick with.” (Allaah’s Aid is sought). Shortly thereafter, she had cardiac arrest which led to arrhythmia and a coma. While she was in the coma, I would call the hospital room and have my family hold the phone to her ear, and I would talk to her. I would say the shahadah in her ear and tell her to say it in her heart if she could hear me. Within a few weeks, she died. To Allaah we belong and to Him we shall return.
    So in my grief, I focused on Islaam and poured all I had into it. I studied and memorized as much Qur’aan as I could. I memorized the hadeeths (prophetic traditions) and was steadfast in my worship of Allaah, and Allaah has aided me in it.
    Phase 3: Happiness in Salafiyyah (Following the Righteous Predecessors – True Islaam) – In 2003 my mentor was sent to another prison and shortly thereafter, so was I. I ended up at a prison at Jonesville, Virginia. This is where I first encountered brothers who openly called to the way of the Salaf (predecessors) as a methodology, although they made a few mistakes. I listened to the lectures from the well known scholars and students of knowledge on cassette tapes, like: Dawud Adeeb, Abu Uways, Bilaal Davis, Rasheed Barbee, Abul-Hasan Maalik and many others. And from the scholars: Shaykh ibn al-Uthaymeen, Shaykh Muqbil ibn Haadee, Shaykh Rabee’ ibn Haadee, Shaykh al-Albaanee and many others. I also memorized the books: “The 3 fundamentals of Islaam,” “The Four Principles,” and “What Nullifies One’s Islaam” by: Shaykh Muhammad ibn Abdul-Wahhaab, and studied the works of Ibn Taymiyyah, Ibn Al-Qayyim and others.
    I studied Arabic grammar with my Muslim brother Talib Shakir, and another brother from Palestine. The bulk of my Arabic grammar studies were with my friend Hossaam Abdel-Jaleel from Egypt.
    In this phase I learned the difference between Islaam, and what some of the Muslims are engaged in from innovations, crimes and terrorism, which can in no way be called Islaam.
    Since then, I’ve been to five other prisons between the federal system and the North Carolina state system, continuing my studies and calling to correct Islaam. I have encountered many trials along the way, but Allaah has aided me in my endeavors. He has illuminated my heart with the light of faith and guided me to a path that is straight. So All the Praise is for Allaah who has guided me to Islaam and the Sunnah.
    After 9/11 happened, things became somewhat hard for the Muslims in prison. Prison administrators strive harder to hinder the growth of Islaam using too many methods to mention. However, they could never put out the Light of Allaah. Islaam is continuing to grow and flourish, and due to the help of many Salafeeorganizations, the correct knowledge and methodology of Islaam is spreading. However, there is still much work to be done.
    On June 1st, 2010, Phase 4 of my story begins. This is when I’ll be released from prison, inshaa Allaah (God willing). I am much better prepared for the battle this time. And the best provision is that of Taqwaa (piety).
    Written by one in need of Allaah.
    Raha Batts As-Salafee

    Fasting is of Four Types - Sunan Ibn Majah

    The Chapter on What Has Been Narrated Concerning Fasting
    Sunan Ibn Majah
    • The Obligatory [Waajib] Fasts: Such as fasting in the holy month of Ramadan; fasting for fulfilling a vow’ and the fasting required for expiation.
    • The Desirable [Mustahab] Fasts: Such as the fasting of the Prophet Dawudu [i.e., fasting every other day; fasting on the 13th, 14th, and 15th of every Islamic month; fasting on Monday and Thursday; fasting for six days of Shawwal; fasting on the day of Arafat; fasting during the first eight days of Dhul-Hijjah; fasting on Ashurah; fasting during the inviolable months; and fasting during the month of Sha’ban etc.
    • The Prohibited [Haram] Fasts: Such as a women observing a voluntary fast without her husband’s permission as he stays at home; fasting for a day prior to Ramadan whilst the commencement of Ramadan is still in doubt; fasting on the of Eidul-Fitr, Eidul-Adha and the days of Tashriq [the three days after the 10th of Dhul-Hijjah] ; the fasting of a menstruating women and the one with post-natal bleeding.
    • The Undesirable [Makruh] Fasts: Fasting perpetually; fasting just on Friday, or only on Saturday, etc.

    Sunday, August 1, 2010

    Golongan orang yang Solat

    9 GOLONGAN ORANG YANG SOLAT

    Golongan 1
    Kita boleh lihat hari ini sudah ramai umat islam yang tak sembahyang, bahkan ramai juga yang tak tahu nak sembahyang. Imam Malik kata jatuh kafir kalau tak sembahyang tanpa sebab.Imam Syafi kata jatuh fasik (pun masuk neraka juga) kalau ia masih yakin sembahyang itu fardu.
    Masya-Allah. . tanak masuk 
    golongan nih.. paling menyedihkan...

    Golongan 2
    Orang yang mengerjakan sembahyang secara zahir sahajabacaan pun masih tak betul, taklid buta, main ikut-ikut orang saja. Belajar sembahyang maupun secara resmi atau tak resmi tak ada. Ilmu tentang sembahyang tiada. Golongan ini tertolak bahkan berdosa besar dan hidup dalam keadaaan derhaka kepada Allah Taala.

    Golongan 3
    Orang yang mengerjakan sembahyang, bahkan tahu ilmu mengenai sembahyang, tetapi tak boleh lawan nafsu terhadap tarikan dunia yang kuat. Jadi mereka ini sekejap sembahyang, sekejap tidak. Kalau ada masa dan mood baik ia sembahyang, kalau sibuk dan terkocoh kacah, ada program kenduri, pesta ria, berziarah bermusafir, letih dan penat, maka ia tak sembahyang.Orang ini jatuh fasik.

    Golongan 4
    Orang yang sembahyang, kalaupun ilmunya tepat, fasih bacaannya,tetapi tak khusyuk kalau diperiksa satu persatu bacaannya, lafasnya banyak yang dia tak faham, fikirannya tak terpusat atau tak tertumpu sepenuhnya pada sembahyang yang dilaksanakannya itu disebabkan tak faham apa yang dia baca.Cuma main hafal saja. Jadi fikirannya terus tertumpu pada dunia dan alam sekelilingnya. Fikirannya mengembara dalam sembahyang,orang ini lalai dalam sembahyang. Neraka wail bagi orang ini.

    Golongan 5
    Golongan yang mengerjakan sembahyang cukup lima waktu
    , tepat ilmunya, faham setiap bacaan sembahyang, fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tapi tak dihayati dalam sembahyang itu. Fikirannya masih melayang mengingatkan perkara dunia, dek kerana faham saja tetapi tidak dihayati. Golongan ini dikategorikan sebagai sembahyang awamul muslimin.

    Golongan 6
    Golongan ini baik sedikit dari golongan yang ke lima tadi, tetapi main tarik tali didalam sembahyangnya, sekali sekala khusyuk, sekali sekala lalai pula.
     Bila teringat sesuatu didalam sembahyangnya, teruslah terbawa bawa, berkhayal dan seterusnya. Bila teringat Allah secara tiba tiba maka insaf dan sedarlah semula, cuba dibawa hatinya serta fikirannya untuk menghayati setiap kalimat dan bacaan didalam sembahyangnya. Begitulah sehingga selesai Sembahyangnya. Ia merintih dan tak mahu jadi begitu, tapi terjadi jua. Golongan ini adalah golongan yang lemah jiwa. Nafsunya bertahap mulhamah (ertinya menyesal akan kelalaiannya dan cuba baiki semula, tapi masih tak terdaya kerana tiada kekuatan jiwa). Golongan ini terserah kepada Allah.Yang sedar dan khusyuk itu mudah mudahan diterima oleh Allah, mana yang lalai itu moga moga Allah ampunkan dosanya, namun tiada pahala nilai sembahyang itu. Ertinya sembahyangnya tiada memberi kesan apa apa.Allah belum lagi cinta orang ini.

    Golongan 7
    Golongan yang mengerjakan sembahyangyang tepat ilmunya, faham secara langsung bacaan dan setiap lafaz didalam sembahyangnya
    . Hati dan fikirannya tidak terbawa-bawa dengan keadaan sekelilingnya sehingga pekerjaan atau apa pun yang dilakukan atau yang difikirkan diluar sembahyang itu tidak mempengaruhi sembahyangnya. Walaupun ia memiliki harta dunia, menjalankan kewajiban dan tugas keduniaan seperti perniagaan dan sebagainya namun tidak mempengaruhi sembahyangnya. Hatinya masih dapat memuja Allah didalam sembahyangnya. Golongan ini disebut orang-orang soleh / golongan abrar / ashabul yamin.

    Golongan 8
    Golongan ini seperti juga golongan tujuh tetapi ia mempunyai kelebihan sedikit iaitu bukan saja faham, dan tak mengingati dunia didalam sembahyangnya, malahan dia dapt menghayati setiap makna bacaan sembahyangnya
    itu, pada setiap kalimah bacaan fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tasbihnya pada setiap sujudnya dan setiap gerak gerinya dirasai dan dihayati sepenuhnya. Tak teringat langsung dengan dunia walaupun sedikit . Tapi namun ia masih tersedar dengan alam sekelilingnya. Pemujaan terhadap Allah dapat dirasai pada gerak dalam sembahyangnyaInilah golongan yang dinamakan golongan Mukkarrabin (Yang hampir dengan Allah )

    Golongan 9
    Golongan ini adalah golongan yang tertinggi dariseluruh golongan tadi. Iaitu bukan saja ibadah sembahyang itu dijiwai didalam sembahyang malahan ia dapat mempengaruhi di luar sembahyang. Kalau ia bermasalah langsung ia sembahyang, kerana ia yakin sembahyang punca penyelesai segala masalah. Ia telah fana dengan sembahyang. Sembahyang telah menjadi penyejuk hatinya. Ini dapat dibuktikan didalam sejarah, seperti sembahyang Saidina Ali ketika panah terpacak dibetisnya. Untuk mencabutnya, ia lakukan sembahyang dulu, maka didalam sembahyang itulah panah itu dicabut. Mereka telah mabuk dengan sembahyang. Makin banyak sembahyang makin lazat, sembahyanglah cara ia nak lepaskan kerinduan dengan tuhannya. Dalam sembahyanglah cara ia nak mengadu-ngadu dengan Tuhannya. Alam sekelilingnya langsung ia tidak hiraukan. Apa yang nak jadi disekelilingnya langsung tak diambil peduli. Hatinya hanya pada Tuhannya. Golongan inilah yang disebut golongan Siddiqin. Golongan yang benar dan haq.astaghfirullah. . rase kerdil.. 


    Setelah kita nilai keseluruhan 9 peringkat sembahyang itu tadi, maka dapatlah kita nilai sembahyang kita di tahap yang mana. Maka ibadah sembahyang yang boleh membangunkan jiwa, membangunkan iman, menjauhkan dari yang buruk boleh mengungkai mazmumah, menanamkan mahmudah, melahirkan disiplin hidup, melahirkan akhlak yang agung ialah golongan 7, 8 dan 9 sahaja. Sembahyangnya ada kualiti, manakala golongan yang lain jatuh pada kufur fasik dan zalim.
    Jadi dimanakah tahap sembahyang kita? Perbaikilah diri kita mulai dari sekarang. Jangan tangguh lagi. Pertama-tama soalan yang akan ditujukan kepada kita di akhirat nanti ialah solat / sembahyang kita. Marilah bersama membaiki solat kita agar segera dapat bantuan dari Allah, agar terhapuslah kezaliman, semoga tertegak kembali daulah Islam.



     ...HIDUP ini amat bermakna jika segalanya kerana ALLAH...